Renungan Diri: Serakah, Tak Kunjung Cukup Persis Ketagihan Narkotika? Dosis Harus Bertambah Terus?

Terbukti synap-synap syaraf yang terbentuk akibat keserakahan bisa diubah dan keserakahan pun bisa dikendalikan

buku medis meditasi

Cover Buku Medis Meditasi

Dr. Setiawan: Manusia yang serakah, yang berbudaya “tak kunjung cukup”, keadaannya sama seperti orang yang ketagihan obat-obatan. Persis seperti para pencandu, para korban narkotika. Ketagihan oleh narkotika atau oleh uang, seks dan lain-Iain, mekanismenya sama: dosisnya harus bertambah terus.

Reseptor-reseptor synap yang sudah terbentuk membutuhkan stimulus-stimulus yang sesuai dengan kebutuhannya. Kemudian, jika kebutuhannya dipenuhi terus, kepekaan reseptor akan semakin menurun, sehingga untuk memperoleh kenikmatan yang sama, dosisnya harus ditambah.

Anand Krishna: Itu sebabnya, para pencandu sulit sekali melepaskan narkotika. Begitu pula dengan para elite politik yang haus akan kekuasaan dan para konglomerat yang haus harta. Yang tadinya hanya mencak-mencak di luar, sekarang menjadi MPR. Tadinya hanya menguasai satu kelompok kecil, sekarang merasa menguasai negara. Ya, semakin menjadi-jadi.

Dr. Setiawan: Jelas semakin menjadi-jadi, karena kebutuhannya akan semakin meningkat. Dan ia pun akan mencari stimulus yang lebih bcsar. Budaya “tak kunjung cukup” ini saya sebut, “Ketagihan stimulus pemenuh instink hewani” atau “Property Addict” yang persis sama dengan “Narcotic Drug Addict”.

Budaya ini dengan sendirinya menciptakan rasa kepemilikan atau keterikatan dengan stimulus-stimulus tersebut.

Anand Krishna: Itu yang menjelaskan kenapa seorang pejabat selalu terikat dengan jabatannya.

Dr. Setiawan: Ya, terikat dengan stimulus-stimulus yang sangat tidak berarti. Sampai menjadi tergantung—addicted! Seperti perokok yang tidak bisa melepaskan rokoknya. Karena sudah terbiasa merokok, kalau tidak merokok mulut serasa kecut. Karena sudah begitu biasa disanjung-sanjung, begitu pensiun dan kehilangan jabatan, lalu senewen!

Padahal dalam konsep yoga atau meditasi sebagaimana kita selami di Ashram, kesadaran manusia berlapis-lapis. Dari mulai kesadaran fisik yang paling luar, paling rendah dan paling kasar, sampai pada yang semakin dalam, semakin tinggi dan semakin halus. Ada yang disebut conscious mind, subconscious mind—lalu superconscious mind atau cosmic mind.

Bagi mereka yang masih berada pada lapisan fisik arau conscious mind, melampaui lapisan tersebut pasti terasa Sangat sulit. Untuk itu, dalam hidup sehari-hari, instink-instink hewani harus dikendalikan.

Salah satu contoh: Makan bila sungguh-sungguh lapar dan berhenti makan sebelum kenyang merupakan cara yang paling efektif untuk mengendalikan instink hewani yang berkaitan dengan rasa lapar. Demikian kita tidak akan terbawa oleh “budaya tak kunjung cukup”.

Kemudian jika kebiasaan ini diulangi terus-menerus dengan penuh kesadaran, reseptor synap lapar akan mengalami regresi ataupun perubahan, sehingga yang biasanya menagih porsi besar akan puas dengan porsi yang kecil.

Cara ini dapat diterapkan untuk mengendalikan instink-instink lain. Dalam hal ini, kata kuncinya adalah “kesadaran”. Seseorang harus melakukannya atas kemauan sendiri—dan dengan kesadaran sendiri. Jika dipaksa, justru akan menciptakan obsesi dan synap-synap baru.

Anand Krishna: Misalnya orang yang berpuasa sepanjang hari, lalu ketika membuka puasa dia justru makan lebih banyak. Semacam balas dendam. Lepas dari maksud sebenarnya yang bisa membuat kita antara lain jadi simple, sederhana, karena puasa kita malah mengada-ada, sehingga pengeluaran untuk makan-minum bulan puasa itu justru lebih bcsar. Kalau itu yang tcrjadi, puasa seperti itu sesungguhnya dilakukan bukan karena kesadaran, tetapi karena ada “perintah” dan “kewajiban” dari agama. Atau ada rasa malu, bagaimana kalau orang Iain tahu bahwa dia tidak puasa. Jadi ada semacam paksaan.

Jika kita berpuasa dengan penuh kesadaran, ketika membuka puasa kita akan makan secukupnya saja. Tidak ada keinginan untuk balas dendam. Jadi kalau tadinya makan 3 kali sehari, selama puasa akan makan 2 kali sehari. Kemudian, cemilan-cemilan pun akan berkurang. Dan dengan sendirinya, harga makanan pun akan turun, tidak malah naik.

Dr. Setiawan: Begitulah ketidaksadaran manusia. Saya pernah membaca tentang Bapak Sosro Kartono. Semasa hidupnya, setiap hari ia hanya makan 2 cabe saja. Badannya tetap sehat.

Dalam buku Otabiografi Seorang Yogi yang Bapak kisahkan kembali dalam bahasa Indonesia, ada referensi tentang seorang yogi wanita. Dia tidak pernah makan dan minum, tetapi badannya sehat saja.

Anand Krishna: Dan hal itu membuktikan bahwa synap-synap asli pun masih bisa diubah. Apa yang disebut conscious mind ataupun subconscious mind bisa ditembus, dilampaui—dan memang harus dilampaui, sehingga evolusi batin manusia berjalan terus.

Di India, banyak sekali anjing jalanan yang tidak makan daging. Diberi daging pun, mereka tidak akan mcmakannya. Anjing-anjing yang hidup di sekitar tempat-tempat suci orang Hindu sudah terbiasa makan sayur-mayur. Mau mencari daging di mana? Tidak ada yang makan daging. Sapi-sapi di India pun demikian. Mereka tidak selalu makan rumput atau gabah. Mereka bisa makan masakan India dengan segala macam bumbu.

Ada yang menarik sekali. Dalam tradisi Hindu, jika terjadi kematian, keluarga yang ditinggal harus memberi makanan kepada sapi selama 11 hari. Makanan yang diberikan ini dalam jumlah yang besar sekali, sesuai dengan porsi sapi tentunya, dan terdiri dari segala macam masakan yang disiapkan untuk anggota rumah—jelas makanan manusia.

Nah, di India sih sangat gampang. Tidak perlu ke mana-mana. Begitu banyak sapi yang berkeliaran bebas. Tetapi bagaimana di Indonesia, di Jakarta? Ternyata bisa diatur juga. Ada perusahaan susu yang dikelola oleh orang Pakistan. Dia membiasakan salah satu sapinya untuk makan masakan India. Masakan India atau Pakistan pada dasarnya sama saja. Dan, jika sapi itu sudah tua, pengusaha itu  akan mempersiapkan seekor sapi yang lain dan membiasakannya untuk makan masakan India.

Banyak binatang buas berhasil dijinakkan. Kuda-kuda liar dan lain sebagainya. Kendati manusia melakukannya untuk kepentingan pribadi, hal ini membuktikan bahwa synap-synap asli pun masih bisa diubah. Berarti instink-instink hewani dalam diri manusia sesungguhnya bisa diatasi sepenuhnya.

Dr. Setiawan: Itu yang dibuktikan oleh para praktisii yoga, meditasi dan para pujangga. Mereka berhasil menaklukkan kebinatangan dalam diri. Dan yang mengendalikan, yang menaklukkan ini adalah “kesadaran”, “kewaspadaan” atau awareness. Semakin meningkat kesadaran diri, semakin menipislah mind. Tetapi jangkauannya justru bertambah luas.

Anand Krishna: Dengan terlampauinya lapisan-lapisan conscious mind dan subconsciou: mind, kita memasuki lapisan-lapisan dalam yang jauh lebih halus, lebih lembut, sehingga, mind menipis—sekaligus meluas.

Dr. Setiawan: Jika direnungkan, tampaklah bahwa conscious mind adalah kesadaran yang paling rendah atau “kesadaran keinginan”. Keinginan untuk memperoleh kepuasan, kenikmatan, dan keamanan lewat terpenuhinya kebutuhan instink-instink hewani.

Anand Krishna: Saya harus mempertegas sedikit—bahwa keinginan untuk memperoleh kenikmatan sorga pun sesungguhnya masih merupakan kebutuhan instink hewani. Banyak di antara kita yang beranggapan, “Ah, saya kan tidak mengejar seks, kedudukan, atau harta benda. Yang saya kejar kan akhirat.” Lalu, kita berpikir bahwa kita lebih baik daripada mereka yang sedang mengejar seks, harta benda, jabatan, ataupun keinginan-keinginan duniawi yang lain. Padahal, sesungguhnya tidak demikian. Jika kita mengejar akhirat, karena iming-iming kenikmatan sorgawi, sesungguhnya kita masih berada pada kesadaran rendah.

Beleh rajin sembahyang, boleh rajin mendatangi tempat-tempat ibadah, tetapi sesungguhnya kita tidak lebih baik daripada mereka yang sedang mengejar kenikmatan duniawi.

Dr. Setiawan: Semua itu terjadi karena tidak adanya kesadaran. Atau tingkat kesadarannya masih rendah sekali. Jangkauan conscinus mind amat sangat terbatas. Sebatas menyadari keinginan-keinginan yang timbul dari instink hewani. Sebatas kesadaran fisik. Ini yang disebut Ego!

Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2001). Medis dan Meditasi, Dialog Anand Krishna dengan Dr. B. Setiawan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Link: http://www.booksindonesia.com

Link: http://www.oneearthcollege.com/

 

Banner utk di web

oec2Elearning-Banner-2

Leave a comment