Renungan Diri: Hidup Bersifat Sementara! Semua Sedang Berlalu! Penderitaanmu Hanya Sia-Sia?

buku bhaja-govindam-500x500

Cover Buku Bhaja Govindam

“Setetes air di atas kelopak bunga teratai tak bertahan lama, begitu pula dengan hidupmu yang bersifat sementara; (selama hidup di dunia), kau pun menderita, karena kegelisahan dan keakuanmu yang sia-sia.” Bhaja Govindam ayat 4 dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2004). Bhaja Govindam Nyanyian Kebijaksanaan Sang Mahaguru Shankara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

 

Saat ajal tiba, tak sesuatu pun dapat membantu…. kecuali Asma Allah, Nama Tuhan. Oleh karena itu, bersoraklah… Bersukacitalah di dalam Nama-Nya… Dalam nyanyian dan tarian kau akan menemukan Rahasia Kehidupan.

Sebelum dunia ini “tercipta”, sebelum semesta “mewujud”, sebelum “ada” cahaya, yang ada hanyalah Kegelapan. Kegelapan dan Kehampaan Sempurna, Total… Dari kandungan kegelapan itu kemudian, entah bagaimana, lahirlah Suara Awal—Pranava. Para ilmuwan rnenyebutnya Big Bang. Injil menggunakan istilah Word atau Sabda Allah… Suara Awal, Sabda Allah, atau apa pun sebutan anda, sesungguhnya tidak sekadar Big Bang, atau ledakan dahsyat. Walau dahsyat, ledakan itu juga berirama. Tidak sekadar ledakan saja. Tidak seperti ledakan bom buatan tangan manusia. Irama itu yang kemudian menciptakan alam semesta. Dan, proses penciptaan ini masih berjalan terus. Masih terjadi ledakan-ledakan serupa dalam alam—mereka yang memiliki telinga dapat rnendengarnya.

Keberadaan, alam ini sungguh berirama…. Dengarkan suara air dan tiupan angin. Dengarkan kicauan burung. Bahkan pepohonan, bebatuan, langit, dan bumi yang kita injak ini pun ber-“suara”. Apalagi pohon-pohon tua yang lebat, getaran suara mereka makin pelan, lembut dan halus—sekaligus makin jelas.

Irama Alam, Nada Keberadaan terdengar lebih jelas lagi oleh roh… oleh mereka yang tidak atau belum berbadan. Karena itulah ada yang mengkaitkan pohon-pohon tua dan lebat, sejenis beringin misalnya, dengan alam gaib atau dunia roh. ltu tidak salah, karena nyanyian pohon-pohon tua semacam itu memang sangat merdu dan dapat menghibur para roh.

Dengan mata tertutup coba sentuh salah satu tangkai pohon tua di mana saja. Bila cukup peka, dan biasanya para meditator memang cukup peka, anda dapat merasakan responsnya. Sentuhan biasa tanpa rasa menimbulkan getaran biasa pula. Sentuhan dengan penuh kasih menimbulkan getaran halus, lembut, dan berirama. Dan, bila anda ingin memisahkan tangkai itu dari pohon, timbul getaran kasar, seolah menolak kehadiran anda.

Life Force atau Kehidupan ada di mana-mana. Semesta dengan seluruh isinya sedang bergetar. Semua ini adalah permainan energi. Hukum Relativitas penemuan Albert Einstein membuktikan bahwa kematian tidak lebih dari sebuah mitos. Tidak ada yang pernah mati atau bisa mati. Kita hanya berubah bentuk saja. Dan “perubahan bentuk” pun terjadi sesuai dengan hukum lain, yaitu hukum aksi-reaksi. Shankara mengajak kita untuk merenungkan hal ini, just this point:

“Setetes air di atas kelopak bunga teratai tak bertahan lama, begitu pula dengan hidupmu yang bersifat sementara; (selama hidup di dunia), kau pun menderita, karena kegelisahan dan keakuanmu yang sia-sia.”

Hidup di dunia memang bersifat sementara, tetapi kehidupan kekal adanya…. langgeng, abadi. Berjalan terus, tak pernah berhenti. Lalu untuk apa “mengikat diri” dengan sesuatu yang bersifat sementara…. Kenapa tidak mengalir saja bersama Kehidupan yang kekal dan abadi adanya?

Bagi setetes air di atas kelopak bunga teratai, mengalir bersama hidup berarti “menguap” dan menyatu dengan semesta. Keterikatan dengan dunia, sebaliknya, akan menjatuhkan dia ke dalam lumpur. Is there a choice? Adakah pilihan bagi setetes air itu? Dapatkah dia memilih untuk menguap saja dan tidak jatuh ke dalam lumpur?

How does the system work? Bagaimana setetes air bisa menguap dan tetesan lain jatuh ke dalam lumpur? Jujur saja, tak seorang pun dapat menjawab pertanyaan ini. Kemudian, apa lagi yang dapat kita upayakan selain “Bersorak, bersuka cita dan menyebut Asma Allah, memuji Nama-Nya… Bhaja Govindam, Bhaja Govinam!”

Menguap dan menyatu dengan semesta, atau jatuh ke dalam lumpur, hidupmu di atas kelopak bunga “teratai-dunia” ini bersifat sementara, taralam atau uncertain, tanpa kepastian. Janganlah mencari kepastian atau stabilitas dalam hidup di dunia. Kau pasti kecewa, karena hidup di dunia itu sendiri sudah tidak pasti, tidak stabil.

(selama hidup di dunia), kau pun menderita, karena kegelisahan dan keakuanmu yang sia-sia.

 

“Aku” yang menginginkan kepastian dan stabilitas justru menjadi sebab segala penderitaan, kegelisahan dan kekecewaan. Kepastian apa yang diinginkannya? Stabilitas apa yang diharapkannya? Keberadaan dia sendiri, eksistensi si “aku” ini sendiri tidak pasti… Badan yang kuanggap “aku” ini sedang berubah setiap saat. Pikiran dan rasa yang kuanggap “aku” pun berubah terus.

Perubahan juga terjadi di luar diri. Undang-undang negara bisa berubah. Peraruran pemerintah bisa berubah. Batas negara pun bisa bergeser. Selama manusia tidak mau menerima perubahan, ia akan selalu gelisah.

Shankara melihat lebih jauh lagi:

(selama hidup di dunia), kau pun menderita, karena kegelisahan dan keakuanmu yang sia-sia.

 

Bisa menerima perubahan atau tidak, “selama hidup di dunia, manusia sudah pasti menderita”.

Dan, penderitaan itu adalah karena vyaadhi dan abhimaan. Saya menerjemahkan vyaadhi sebagai “kegelisahan”, sesungguhnya vyaadhi juga berarti penyakit atau keadaan yang tidak nyaman.

Adakah suatu keadaan “nyaman” yang “selalu menyamankan”?  Tidak ada. Hidup di dunia ini tidak mengenal istilah “selalu”.

Kemudian, ada yang menerjemahkan abhimaan sebagai conceit, kesombongan. Itu tidak pas, karena kesombongan disebabkan oleh sesuatu. Misalnya, bila seorang Anand Krishna menyombongkan diri sebagai “penulis yang produktif”, rasa sombongnya itu sangat tergantung pada “produktivitas tulisannya”. Besok-besok bila sudah tidak produktif, dia tidak bisa lagi menyombongkan diri. Abhimaan bukanlah rasa sombong karena sesuatu, tetapi kesombongan itu sendiri….. keakuan manusia.

“Kegelisahanmu,” kata Shankara “keakuanmu sia-sialah semuanya…… apa yang kaugelisahkan, apa pula yang kau sombongkan? Semua ini sedang berlalu….”

Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2004). Bhaja Govindam Nyanyian Kebijaksanaan Sang Mahaguru Shankara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Link: http://www.booksindonesia.com

Link: http://www.oneearthcollege.com/

 

Banner utk di web

oec3Elearning-Banner-2 (1)