“Ia Hyang Kekal Abadi, Tak Termusnahkan, dan Tak Terukur (Kemuliaan, Keagungan, dan Kekuasaan-Nya) itulah yang menempati wujud manusia dan wujud makhluk-makhluk lainnya. Maka, wahai Bharata (Arjuna, keturunan Raja Bharat), bertempurlah, hadapi tantangan ini!” Bhagavad Gita 2:18
Tuhan itu nggak bisa diukur. Kemuliaaan Tuhan berapa persen atau berapa meter atau berapa dimensinya, nggak bisa terukur.
Kita sedang menghadapi tantangan. Dalam hidup ini, setiap saat, kita menghadapi tantangan. Tantangan Arjuna adalah bertempur di medan perang. Tantangan kita lebih banyak lagi. Di rumah ada berapa macam tantangan? Anak masih kecil masih bisa diatur, kalau sudah besar sedikit, mengatur anak pun menjadi tantangan. Waktu masih kecl masih oke, sekarang, “Ma maunya apa sih?” Nggak enak ekali mendengar. Kadang-kadang anak bisa bicara begitu lho, “Papi maunya apa sih?” “Bapak maunya apa sih?” “Maunya apa? Kita yang ngegedein kamu dari dulu kalau nggak sudah……..”
Coba bayangkan manusia itu makhluk jenis binatang paling lemah. Kenapa saya katakan begitu? Anjing melahirkan anak, langsung anak itu sudah lari-lari kan? Kucing melahirkan, anak langsung lari-lari. Ayam menetas langsung cari makan sendiri. Burung juga begitu, hanya manusia, anak itu kalau nggak dipelihara, sampai berapa bulan, berapa tahun, mati dia.
Jalanpun harus diajarkan. Burung, tidak ada induknya mengajarkan, “Hai anak, kalau terbang itu begini.” Ikan juga tidak mengajarkan anaknya berenang. Anak-anak kita ini kurang ajar. Sudah diajarin masih kurang ajar. Jadi tantangan kita jauh melebihi tantangan Arjuna, tantangan hewan-hewan. Arjuna tantangannya satu kembali ke rumah selesai. Kita tantangannya setiap saat.
Saya tanya kepada seorang gadis orang Bali. Dia sudah dua kali pacaran dengan orang Jawa. Saya tanya mengapa tidak cari orang Bali? Nggak apa-apa, saya ngak rasis saya bukan orang Jawa Bali. Saya cuma tanya saja kenapa. Tahu nggak jawabnya, “Pak orang Bali, pria Bali tidak pernah memperhatikan wanitanya. Kalau orang Jawa lebih memperhatikan. Tapi begitulah kondisi kita. Orang tidak diperhatikan susah, diperhatikan susah.
Tiba-tiba suami datang ke rumah. Bilang kepada istrinya, “Sayang”, sudah 5 tahun nggak bilang sayang, tiba-tiba dia bilang sayang. Ada sesuatu lho jangan cepat-cepat bahagia. Ada udang di balik batu.
Kena, banyak yang kena, hahaha…..
Jadi tantangan kita berat sekali. Tantangan setiap saat dari anak, dari suami, dari macam-macam. Dari keluarga dari keluarga besar, dari keluarga suami dari keluarga istri. Berbagai macam tantangan.
Untuk menghadapi tantangan itu selalu ingat Hyang Kekal Abadi Tidak Pernah Berubah. Kita berubah-ubah, hari ini mertua lagi begini, besok akan begitu. Jangan diambil dalam hati. Kalau diambil dalam hati kita sendiri yang sakit. Mertua sudah tua ya mau diapakan lagi. Terimalah. Kalau sedikit sedikit diambil dalam hati, nggak bisa.
“Ia yang menganggap Jiwa ini sebagai pembunuh; dan yang menganggapnya terbunuh—kedua-duanya tidak memahami Hakikat Jiwa yang tidak pernah membunuh, maupun terbunuh.” Bhagavad Gita 2:19
Badan kita yang berubah-ubah sedang mati, tapi Jiwa seperti listrik. Ada pembangkit listrik yang mengalirkan listrik ke rumah kita. Kalau rumah kita mati lampu tidak berarti listriknya rusak, cuma 1 phase saja. Pembangkit listriknya tetap membangkitkan listrik, hanya dari rumah ke rumah tidak masuk. Begitu juga Jiwa tetap abadi. Jika sudah meninggalkan badan, badan tidak bisa berfungsi lagi.
“Ia (Jiwa) tidak pernah lahir, dan tidak pernah mati. Tak-Terlahirkan, Kekal-Abadi, Langgeng, dan Hyang Mengawali segalanya. Asal usul segala sesuatu, Hyang Ada sejak awal, dan tidak ikut punah ketika raga mengalami kepunahan, kemusnahan, kematian, terbunuh.” Bhagavad Gita 2:20
Kalaupun badan sudah terbunuh, mati, kecelakaan, Jiwa tetap ada, Jiwa tetap tidak terbunuh, Jiwa abadi. Di sini pun kadang-kadang kita menyalahartikan. Abadi tidak berati gentayangan terus, dia ke mana-mana. Ketika saya mati, apa yang Anda katakan, Anand Krishna, Guruji sudah meninggal dunia. Yang meninggal siapa? Kan badannya masih ada di situ. Berarti ada sesuatu yang meninggakan badan itu. Itulah Jiwa.
“Seseorang yang mengetahui hal ini; mengenal dirinya sebagai yang tak termusnahkan, tak-terlahirkan, dan tidak pernah punah, bagaimana pula iadapat terbunuh, wahai Partha (Putra Prtha – sebutan bagi Kunti, ibu Arjuna)? Dan, bagaimana pula ia dapat membunuh?” Bhagavad Gita 2:21
“Sebagaimana setelah menanggalkan baju lama, seseorang memakai baju baru, demikian pula setelah meninggalkan badan lama, Jiwa yang menghidupinya, menemukan badan baru.” Bhagavad Gita 2:22
Di sini kita harus, hati-hati sekali. Jiwa dalam pengertian soul ini, dia keluar. Badan sudah nggak bisa digunakan lagi. Kita ngabenkan, kita perabukan, mau dikubur, mau di apa. Tetapi, ini saya juga pernah cerita sebelumnya, ada sesuatu yang menghubungkan, badan yang sudah mati ini dengan soul, dengan roh, dengan Jiwa. Jiwa adalah kata lain, kata tepatnya adalah roh atau soul. Jiwa lebih tinggi lagi. Roh ini sedang gentayangan. Dia sedang gentayangan di sekitar badan itu. Kalau badan itu belum punah, belum musnah, roh ini akan gentayangan terus. Oleh karena itu dalam tradisi budaya kita, kita langsung mengabenkan, langsung dikremasi diperabukan, supaya hubungan ini terputus. Kalau hubungan ini teputus, soul ini, roh ini tahu, “saya sudah mati”, dan ia akan melanjutkan perjalanannya.
Kalau tidak cepat-cepat diabenkan, kalau tidak cepat cepat diperabukan, maka roh ini akan gentayangan. Dan ini yang terjadi di mana-mana di Barat, di sini juga. Roh-roh yang gentayangan ini masih terikat dengan badan yang masih belum busuk, belum musnah ini. Masih terikat dengan keluarga, masih terikat dengan rumah, dengan mobil, dengan apa saja yang pernah dia miliki. Kita bisa panggil, orang-orang bisa panggil. Memanggil roh itu. Tetapi roh yang masih gentayangan, terikat, dipanggil kita justru memperlambat, proses perjalanan dia. Kita membuat dia tetap berada di sekitar sini. Dan itu sangat menyengsarakan roh.
Jadi jangan anggap bagus kalau panggil roh siapa, panggil roh leluhur. Itu membuat mereka lebih terikat dengan dunia. Dan tidak bisa melanjutkan perjalanan. Tetapi kalau sudah diabenkan sudah diperabukan, sudah menjadi abu, dia sudah tahu bahwa dia tidak terikat lagi, badan sudah nggak ada. Jadi kalau setelah badan diabukan, dia ngerti, dia melanjutkan perjalanan. Terus Anda ke seorang dukun dan dukun mengatakan, “Saya bisa komunikasi dengan mitra dengan leluhurmu.” Leluhur mana yang berkomunikasi? Leluhur sudah lahir lagi, nggak bisa lagi komunikasi. Jadi kita juga harus pintar-pintar. Jangan dibodohin terus. “Kamu melakukan ini, kamu sumbang ini, kamu bikin ini, bikin banten!” Jangan cepat-cepat menerima semua itu, karena kita boleh menghormati leluhur, boleh dan wajib.
Dalam Hindu ada istilah shraaddha. Shraaddha itu adalah menghormati leluhur. Dan menghormati leluhur bisa dengan berbagai cara. Dalam Hindu diajarkan cara-caranya. Membuat buku, kasih nama orang tua atau siapa, yang sudah meninggal. Bagikan buku tersebut gratis, atau membuat makanan.
Kemarin saya ke Solo. Ketika saya belum lahir, ibu saya setelah melahirkan kakak saya perempuan, 16 tahun tidak mengandung lagi. Jadi kemana-mana cari, minta doa apa, supaya bisa punya anak. Bapak saya ketemu dengan seorang perempuan dari kraton yang meninggalkan kraton, dia menggundulkan kepalanya. Dia hidup sebagai seorang brahmacari. Namanya ibu Srini. Kemarin saya ke makamnya. Dia seorang yang jiwanya kejawen, theosofi, cara pandangnya sangat luas. Dan beliau mengajarkan apa? Ada orang datang, minta berkah, supaya mendapatkan anak, atau rejeki atau jodoh, cara-caranya itu simple. Orang Jawa kalau bikin banten, persembahan, banyak sekali. Ini nggak demikian. Persembahan dia apa? Pergi ke Bengawan Solo kasih makan ikan. Atau hari Kamis, hari Jumat, masak nasi kuning beri pada fakir miskin. Itu bantennya. Dan itu cara Hindu.
Jadi shraaddha itu apa? Ada satu bulan, sekarang bulan yang dipersembahkan kepada leluhur. Seperti Galungan Kuningan gitu kan, leluhur kita datang terus pulang. Kalau Galungan Kuningan setahun dua kali, kalau di India satu kali. Selama satu bulan itu. Kita kaitkan leluhur kita yang meninggal bapak atau ibu atau siapa, meninggalnya tanggal berapa disesuaikan tanggalnya. Atau kalau tidak pilih tanggal manapun juga setahun sekali bagikan makanan kepada yatim piatu, berikan kain, pakaian apa yang mereka butuhkan. Jadi tidak membuang begitu saja.
Berikan sesuatu. Adopsi anak yatim yang tidak punya keluarga atau keluarganya sudah meninggal. Dia tidak punya uang untuk melanjutkan sekolah. Coba adopsi anak seperti itu atas nama orang tua yang sudah meninggal. Atas nama leluhur. Itu adalah cara yang paling, paling efektif. Untuk mengenang jasa-jasa leluhur. Atas nama leluhur bukan atas nama saya pribadi. Ini atas nama leluhur saya mengadopsi anak ini, saya bayar kuliahnya, saya bayar, sekolahnya atau saya beri makan kepada orang-orang yang butuh makanan. Jadi ada banyak cara yang lebih baik, dalam pengertian lebih mengena, lebih membantu seesama manusia. Coba pikirkan. Jangan cepat-cepat mengikuti saya.
Sumber: Bhagavad Gita dalam Hidup Sehari-hari, percakapan 02: 15-27, Menghadapi Kematian, Memahami Keabadian Jiwa, Bersama Anand Krishna
https://www.akcjoglosemar.org/wp/