Semar Tentang Kesadaran Al Mahdi, dari Trilogi Shambala Shangrila Shalala

1-semar-ke-kiri

“KeIuarga? That’s a very good question. Ya, ya, ya, ya, ya—aku punya keluarga. Bukan hanya di India, bukan hanya di Indonesia. Tetapi di mana-mana. Di dalam gerbong ini kalian adalah keluargaku. Di luar sana, para kuli pengangkut beban adalah keluargaku. Bahkan tempat duduk yang kosong ini juga keluargaku.”

(Silakan baca dalam buku Soul Awareness…….. Para pujangga dari Peradaban Sindhu, Shintu, Shin, Hindu, Hindia, Indo, Indies—tempat Nusantara adalah bagiannya—telah menyimpulkan sejak dahulu kala: Vasudhaiva Kutumbakam—Seluruh Umat Manusia, Seluruh Penduduk, Penghuni Planet Bumi adalah Satu Keluarga Besar).

 

“Seandainya kita semua bisa berpikir demikian, Uncle. Bisa bersahabat dengan setiap orang!” tanggap Kraanti.

“Bisa, bisa. Pasti bisa. Kesadaran Mahdi sedang melanda dunia kita. Dan kesadaran ini akan mendekatkan manusia dengan manusia.” Suara Semar terasa bergema. “Ya, ya, ya, ya, ya. Hanya saja, penafsiran selama ini agak keliru. Mahdi bukanlah nama seseorang, tetapi sebutan lain bagi ’Kesadaran Tinggi’. Dalam bahasa Arab, ’Al Mahdi’ berarti ‘Ia yang dituntun’. Nah, berada pada kesadaran tinggi, setiap orang akan merasakan tuntunan-Nya, bimbingan-Nya.”

Silakan ikuti petikan percakapan Devi, Kraanti dan Semar dalam perjalanan dari India ke Indonesia di buku (Krishna, Anand. (2001). Shalala, Merayakan Hidup. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

buku-shalala

Cover Buku Shalala

Oṁ Saha nāvavatu; saha nau bhunaktu: Saha vīryam karavāvahai;Tejasvi nāvadhītamastu; Mā vidviṣāvahai.Oṁ Shāntiḥ, Shāntiḥ, Shāntiḥ

(Semoga Hyang Tunggal senantiasa melindungi kita; menjernihkan pikiran kita: semoga kita dapat berkarya bersama dengan penuh semangat; semoga apa yang kita pelajari mencerahkan dan tidak menyebabkan permusuhan; Damailah hatiku, damailah hatimu, damailah kita semua.)

Mau cerita apa? Harus memulai dari mana? Dari kejayaan masa silam atau reruntuhan masa kini? Saya sendiri sudah lama berada di luar Indonesia. Baru mau pulang.”

“Kapan meninggalkan Indonesia?” tanya Kraanti.

“Lama, lama—sudah luamaaa sekali. Waktu saya meninggalkan Indonesia, di sana lagi ribut-ribut. Pikir saya, kalau sudah aman akan balik. Ternyata sampai saat ini pun masih ribut.” jawab Semar.

Devi pernah membaca tentang kerusuhan yang terjadi sekitar lengsemya Presiden Soeharto. Devi juga mendengar bahwa saat itu banyak orang yang bereksodus, meninggalkan Indonesia. Semar pasti ikut bereksodus juga.

“Sekitar kerusuhan dua tahun lalu itu, ya?” tanya Devi.

“Sekitar kerusuhan…. Ya, ya, ya, ya, ya—beberapa tahun yang lalu. Darah di mana-mana. Scjarah dimanipulasi. Pihak yang menang, yang berkuasa, bisa menulis apa saja. Yang tidak benar bisa menjadi benar. Yang benar bisa menjadi tidak benar. Atas nama agama.  Sudahlah, cerita yang lain saja.” Kesedihan, kepedihan suara Scmar memiliki kedalaman yang sama seperti suara tawanya. lntensitasnya sama, tekanannya sama.

Kraanti berupaya untuk menghibur dia, “Begitulah hidup ini. Roda Sang Kala berputar terus.”

Devi merasa bersaiah, karena dialah yang memulai pembicaraan tentang Indonesia, maka dia pun berupaya untuk mengalihkan perhatian Semar, “Uncle, kalau saya boleh…?”

“Ya, ya, ya, ya, ya—kaIian boleh memanggil saya Uncle. Saya jauh lebih tua dari kalian.”

“Uncle, masih punya keluarga di India?” tanya Devi.

“KeIuarga? That’s a very good question. Ya, ya, ya, ya, ya—aku punya keluarga. Bukan hanya di India, bukan hanya di Indonesia. Tetapi di mana-mana. Di dalam gerbong ini kalian adalah keluargaku. Di luar sana, para kuli pengangkut beban adalah keluargaku. Bahkan tempat duduk yang kosong ini juga keluargaku. Ketika mau beli tiket, aku menyodorkan uang untuk dua tiket. Ditanya nama, aku jawab, ’Semar’. Mereka tidak menanyakan nama orang kedua. Di atas tiket, tertera nama ’Semar and Company’. Berarti Semar bersama sahabatnya, bersama pendamping. Berarti, kekosongan ini pun sahabatku, pendampingku—keluargakul”

“Seandainya kita semua bisa berpikir demikian, Uncle. Bisa bersahabat dengan setiap orang!” tanggap Kraanti.

“Bisa, bisa. Pasti bisa. Kesadaran Mahdi sedang melanda dunia kita. Dan kesadaran ini akan mendekatkan manusia dengan manusia.” Suara Semar terasa bergema.

“Mahdi, Uncle? Utusan Allah yang ditunggu-tunggu oleh …….?” tanya Devi.

“Ya, ya, ya, ya, ya. Hanya saja, penafsiran selama ini agak keliru. Mahdi bukanlah nama seseorang, tetapi sebutan lain bagi ’Kesadaran Tinggi’. Dalam bahasa Arab, ’Al Mahdi’ berarti ‘Ia yang dituntun’. Nah, berada pada kesadaran tinggi, setiap orang akan merasakan tuntunan-Nya, bimbingan-Nya.”

“Tetapi, ada tanda-tanda yang diberikan dalam beberapa literatur. Bahwasanya dia akan lahir dalam keluarga Nabi.” Devi memang pernah membaca banyak tentang Mahdi.

“Siapa yang bisa disebut keluarga Nabi? Apa yang dimaksudkan oleh Nabi sendiri? Keluarga lahiriah atau keluarga batiniah? Kalau bicara tentang keluarga lahiriah, di India sini begitu banyak orang yang mengaku dirinya memiliki hubungan darah dengan Nabi. Di Indonesia pun banyak sekali. Belum lagi di Pakistan, di Bangladesh, di Timur Tengah, di Barat—di mana-mana. Kalau semuanya dikumpulkan, dijumlahkan, lalu diperiksa ulang siisilah keluarga mereka masing-masing, banyak sekali yang tumpang-tindih. Tidak, tidak demikian maksud Nabi.”

“Interprerasi seperti ini yang tak biasa kami dengar, Uncle!”

“Begitu pula dengan tanda-tanda lain yang diberikan oleh Nabi. Untuk memahaminya, dibutuhkan kesadaran tinggi. Tidak bisa diartikan begitu saja. Apa yang terjadi ketika seseorang mengartikannya begitu saja? Sekian banyak orang yang mengaku dirinya Mahdi. Mereka lahir, hidup, dan mati. Dunia masih sama saja—amburadul. Koq tidak terjadi perubahan yang dijanjikan? Mereka semua terjcbak dalam permainan kata-kata. Mereka memperhatikan ’wujud’—kata-kata. Mereka tidak memperhatikan ’yang berada di balik wujud,’ sehingga mereka bingung sendiri dan membingungkan orang lain.”

Pendengarnya hanya mengangguk-angguk. Entah paham, entah tidak, mereka hanya membuka telinga untuk memperhatikan.

“Padahal, di antara mereka yang mengaku diri sebagai Mahdi, ada beberapa orang yang memiliki wawasan yang sangat luas. Mereka sudah bersentuhan dengan ‘Kesadaran Mahdi’. Kesalahan mereka hanya satu, yaitu menafsirkan Mahdi sebagai nama individu, sehingga mercka tidak bisa meiihat ‘kemahdian’ di luar diri.” Demikian penjelasan Semar.

Devi mencatat dalam hati, ”Cukup lama dia tidak mengucapkan ’Ya, ya, ya, ya, ya …. ..’”

“Ya, ya, ya, ya, ya—begitulah………”

Devi sudah tidak kaget lagi, “Tadi saya baru berpikir, koq tidak pakai ’Ya, ya, ya, ya, ya’ lagi, eh, kebaca juga oleh Uncle.”

”Ya, ya, ya, ya, ya—hal-hal yang ringan. Itu saja yang terbaca.” kata Semar.

“Ngaku ya! Berarti Uncle bisa membaca pikiran……..”

“Hahahahehehehihihi…..” tawa Samar bagaikan angin segar. Devi dan Kraanti mulai menikmatinya.

…………………..

Walau sudah lama tidak di Indonesia, rupanya Semar tetap saja mengikuti perkembangan mutakhir. Dia amati pers nasional yang konon mewakili “hati nurani rakyat” dan sekarang hanya mewakili “kepentingan” serta ”keamanan diri”. Tidak berani mengungkapkan kebenaran. Para politisi yang “elite” dan makin jauh dari rakyat. Para mahasiswa yang bisa ”diatur”. Semar bagaikan koran berjalan. (buku ditulis th 2001)

…………..

But, I am hopeful. Keadaan akan berubah. Akan membaik. Dan semua itu tergantung pada kita. Bila saya berubah, kalian berubah, kita semua berubah, keadaan pun akan berubah. Bila kita membaik, keadaan juga akan membaik. Banyak orang bicara tentang New Age. Tentang Zaman Baru. Aku bicara tentang New Humanity—Kemanusiaan Baru. Manusia Baru!”

Suara Semar sudah berubah total. Dan perubahan itu dirasakan betul oleh Kraanti dan

Devi.

Uncle, who are you?” tanya Devi.

Dalam sekejap, suara Semar berubah lagi. Seperti biasa lagi, “Hahahahahaha, who can I be? Siapa ya, aku? Siapa lagi—aku adalah aku. Dan Semar namaku. Sudah larut rnalam nih. Aku sudah tua dan masih butuh tidur. Selamat malam…….”

Silakan baca lengkap pada buku Shalala…..

Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2001). Shalala, Merayakan Hidup. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Om, Sarve bhavantu sukhinaḥ; Sarve santu nirāmayāḥ; Sarve bhadrāṇi paśyantu; Mā kashchit duḥkha bhāgbhavet; Oṁ Shāntiḥ, Shāntiḥ, Shāntiḥ

(Semoga semua makmur, bahagia dan bebas dari penyakit. Semoga semua mengalami peningkatan kesadaran, dan bebas dari penderitaan. Damailah hatiku, damailah hatimu, damailah kita semua.)

 

Link: http://www.booksindonesia.com

Link: http://www.oneearthcollege.com/

 

banner-utk-di-web

oec4elearning-banner

Leave a comment