Renungan Diri: Syukuri Kenyamanan dari Hartamu, Tapi Jangan Harapkan Kebahagiaan Darinya?

buku bhaja-govindam-500x500

Cover Buku Bhaja Govindam

Oṁ Saha nāvavatu; saha nau bhunaktu: Saha vīryam karavāvahai;Tejasvi nāvadhītamastu; Mā vidviṣāvahai.Oṁ Shāntiḥ, Shāntiḥ, Shāntiḥ

Let us Learn Together, Study Together, Nurture Eachother, Fill Eachother, and Work Together with Great Enthusiasm, Great Spirit.

Seorang sahabat mengatakan bahwa kisah perang Mahabharata sudah merasuk dalam jiwa masyarakat kita. Kita semua merasa diri kita menjadi mendukung Pandawa. Kita perlu ingat bahwa Duryudana pemimpin Korawa memilih kekuatan materi, sehingga saat bertemu Sri Krishna dia memilih pasukan Dwaraka untuk mendukungnya dalam perang melawan Pandawa. Sebaliknya Arjuna memilih kebenaran—diri Sri Krishna pribadi—yang membantu perang. Mari kita renungkan dalam-dalam! Pada peperangan di dunia nyata saat ini, kita apakah memilih Korawa—mayoritas yang berkuasa dengan segala persenjataanya, ataukah memihak Pandawa yang lebih sedikit pendukungnya tetapi percaya pada Krishna—menjunjung tinggi kebenaran? Kita melihat segelintir pemimpin kita yang memihak pada kebenaran diserang habis-habisan dari berbagai penjuru oleh mereka yang percaya kekuatan materi (harta dan kekuasaan). Tetapi sudah bangkit para ksatria pendukung kebenaran, karena sudah  muak melihat ketidakbenaran merajalela.

……………

buku bhaja govindam duryodhana-visits-krishna-in-dwaraka-mahabharat

Ilustrasi Krishna bangun dan melihat Arjuna di kakinya, kemudian melihat Duryudana di dekat kepalanya. Duryudana memilih pasukan Krishna untuk membantu Korawa, sedangkan Arjuna memilih diri Krishna untuk membantu Pandawa

Bagaimana dengan perang antara Pandawa-Kebenaran melawan Korawa-Materi yang sedang berkecamuk dalam diri?

Mari kita simak pandangan Shankaracarya dalam Bhaja Govindam tentang kekuatan materi, harta dalam kehidupan nyata. Apakah harta tersebut dapat membahagiakan kita?

 

Ingatlah selalu bahwa harta yang kau timbun tak berarti, tak dapat membahagiakan dirimu…..

Harta membuatmu penakut, anak pun kau takuti, demikianlah yang terjadi selalu…..

(Terjemahan Bhaja Govindam 29)

 

Arthamanartham, luar biasa!

Artha berarti harta, uang, kekayaan, juga berarti makna, arti. Anartha berarti tidak bermakna, tidak berarti. Arthamanartham—yang kau anggap berarti itu sesungguhnya tidak berarti. Yang kau anggap mcmiliki makna itu sesungguhnya tidak bermakna.

Seorang Guru, dan saya sangat menghormati dia, menerjemahkan kalimat pertama bait ini sebagai berikut: Wealth is calamitous….. kekayaan membawa bencana. Saya tidak sependapat dengan beliau. Tidak; wealth atau kekayaan tidak selalu membawa bencana. But it is meaningless, tidak bermakna.

Walau tidak bermakna, silakan menimbun harta. Bukankah kita sudah terbiasa mengoleksi sekian banyak benda yang tidak bermakna pula? Tapi janganlah mencari makna dari sesuatu yang tidak bermakna. Itu salah. Bagaimana mengharapkan buah apel dari pohon buah asem?

Bicara tentang artha atau harta, kata orang “Time is money”. Waktu itu sangat berharga. Tetapi, bagaimana menghargai waktu? Berapa nilai waktumu? Berapa nilai waktuku? Berapa nilai waktu 20 menit seorang pengacara? Dan, berapa nilai waktu 20 menit seorang dokter? Lalu, berapa nilai waktu 20 menit bagi seorang supir taksi? Sama-sama manusia, sama-sama tinggal di Indonesia, tetapi nilai waktumu lain dari nilai waktuku. Bagaimana dengan waktu para pengacara, dokter dan supir taksi di luar negeri? Waktu dan uang, dua-duanya relatif memiliki arti sekaligus tidak memiliki arti. Dan, walau memiliki arti, arti itu pun dapat berubah-ubah.

 

Ingatlah selalu bahwa harta yang kau timbun tak berarti, tak dapat membahagiakan dirimu…..

Harta membuatmu penakut, anak pun kau takuti, demikianlah yang terjadi selalu…..

 

Harta yang kau timbun tidak berarti, tapi dalam konteks apa? Shankara spesifik sekali, “BiIa kau anggap harta itu dapat membahagiakanmu, ketahuilah kau pasti kecewa, karena harta tidak dapat membahagiakanmu.”

Dalam konteks ”kebahagiaan” itulah, harta tidak memiliki arti. Bila kau menginginkan kenikmatan sesaat, jelas harta berarti. Kau dapat makan, minum seenaknya. Apa saja dapat kau beli. Tapi, apabila kau jatuh sakit dan penyakit itu belum ada obatnya—then how? Dapatkah kau beli kesehatan dengan uangmu?

Silakan menikmati harta kekayaanmu, tetapi pada saat yang sama ingat pula bahwa kenikmatan itu tidak berarti. Dengan sesuatu yang tidak berarti kau hanya dapat membeli sesuatu yang tidak berarti pula. Bila yang tidak berarti itu memberimu rasa nyaman, silakan menikmati rasa nyaman itu… asal kau tidak lupa bahwa kenyamanan itu pun hanya untuk sesaat, tidak berarti.

Harta bukan untuk ditimbun. Harta juga tidak dapat membahagiakan kamu. Kenikmatan, kenyamanan, kesenangan sesaat itu saja yang dapat kau peroleh darinya. Dan, tidak ada yang salah dengan itu. Nikmati harta kekayaanmu. Syukuri kenyamanan yang kau peroleh darinya, bersenang-senanglah sebentar, tapi jangan mengharapkan kebahagiaan darinya. Itu saja.

Kau menempatkan harta di atas segala-galanya. Dan, hidup melewatimu begitu saja. Banyak hal yang terlewatkan, karena kesadaranmu terfokus para harta saja.

Kau menggunakan harta sebagai topi, padahal itu sepatu. Sepatu di atas kepala, dan topi kau jadikan alas kaki—lucu!

Seorang anak kecil di daerah kumuh kota Ajmer di India sedang buang air besar di pinggir kali. Itu biasa dilakukan oleh anak-anak seumurnya, karena persediaan air di rumah sangat terbatas. Kota Ajmer adalah kota terakhir sebelum anda memasuki gurun Thar, padang pasir terluas kedua di dunia. Anak-anak ini biasanya sudah dinikahkan oleh orangtua mereka. Kemudian setelah memasuki usia puber baru kawin. Mayoritas telah meninggalkan adat ini, tapi ada saja yang masih mau tinggal di masa silam.

Anak perempuan yang sedang buang air besar di pinggir kali itu pun sudah dinikahkan oleh orangtuanya. Dia dibekali pula dengan panduan untuk menghadapi keluarga suaminya yang juga masih kecil dan tinggal tidak jauh dari rumahnya. Keharusan untuk menutup wajah dengan kerudung bila berhadapan dengan mertua laki merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar.

Saat lagi asyik buang air besar, ia melihat mertuanya. Wah, celaka….. Bagaimana menutupi wajahnya, dia tidak punya kerudung.” Maka baju terusan yang tadinya ia angkat setengah saja supaya bisa jongkok dilepaskannya dan dijadikannya kerudung untuk menutupi wajah.

Kadang kita pun bersikap seperti anak kecil itu. Kita tidak tahu apa yang lebih memalukan, apa yang harus diprioritaskan untuk ditutup. Patut kita kasihani mereka yang “tidak tahu” dan menempatkan baju-harta di atas kepala. Padahal baju itu untuk menutupi kemaluannya.

Shankara tidak melarang kita untuk berbaju harta. Gunakan harta sebagai baju, tetapi baju itu bukanlah dirimu. Baju boleh ada, boleh tidak—kau tetap ada.

 

Harta membuatmu penakut, anak pun kau takuti, demikianlah yang terjadi selalu…..

Shankara mengajak kita untuk face the truth, menghadapilah kebenaran hidup. .. Kau menjadi penakut, pengecut karena harta yang kau timbun itu. Anak sendiri tidak kau percayai, “Jangan-jangan harta yang kuperoleh berkat kerja keras selama bertahun-tahun ini ludes begitu saja oleh anakku.”

“Apa yang terjadi bila aku meninggal? Rumahku yang mewah, kendaraanku, tabunganku, usahaku—semoga anak-anakku dapat merawat, memelihara, memperbanyak.”

Dalam keadaan sekarat pun pikiran seperti itu yang muncul. Harta, uang, fulus….. sepanjang umur itu saja yang kita pikirkan. Saat mati pun pikiran sama yang muncul. Bila harta kekayaanmu dapat membahagiakan dirimu, kenapa kau begitu sedih saat meninggalkannya? Kenapa kau meninggalkannya? Kenapa tidak membawanya ke alam sana? Tidak bisa kan? Lalu apa arti tabunganmu selama ini? Masih untung bila kau sempat menikmati harta itu semasa hidupmu. Masih untung bila kau sempat hidup nyaman dengan apa yang kau miliki.

Ada juga yang tidak tahu arti kenyamanan dan kenikmatan. Ada juga yang sekadar suka menabung. Seorang wanita di Surabaya meninggalkan 60 kilogram emas yang baru diketahui oleh anaknya setelah ia mati. Semasa hidupnya ia tidak menikmati kekayaannya. Ia tidak menggunakannya untuk membuat hidupnya sedikit lebih nyaman.

Tabungan Rp 2 M membuatmu senang. Pernahkah kau berpikir bahwa nilai uangmu sangat tergantung pada mata uang asing yang sama sekali di luar kendalimu? Pernahkah kau berpikir pula bahwa mata uang asing itu tergantung pada tabungan dalam bentuk emas yang dimiliki oleh negerinya? Bagaimana bila tabungan mereka menyurut? Bagaimana kalau harga emas anjlok? Bagaimana kalau emas bisa dibuat di laboratorium dengan harga murah? Karena, upaya-upaya ke arah itu sudah berjalan lama. Para saintis bahkan sudah berhasil menciptakan emas. Hanya biaya produksinya masih jauh tinggi. Pada suatu ketika bila biaya produksi bisa diturunkan, apa yang akan terjadi dengan uangmu yang 2 M itu?

Tapi, silakan menabung. Silakan berinvestasi. Asal tahu bahwa semua itu tidak membahagiakan. Tidak ada kebahagiaan yang dapat kau peroleh dari semua itu.

Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2004). Bhaja Govindam Nyanyian Kebijaksanaan Sang Mahaguru Shankara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Om, Sarve bhavantu sukhinaḥ; Sarve santu nirāmayāḥ; Sarve bhadrāṇi paśyantu; Mā kashchit duḥkha bhāgbhavet; Oṁ Shāntiḥ, Shāntiḥ, Shāntiḥ

May all be prosperous and happy. May all be free from illness. May all see what is spiritually uplifting. May no one suffer. Om peace, peace, peace

 

Link: http://www.booksindonesia.com

Link: http://www.oneearthcollege.com/

 

Banner utk di web

oec3Elearning-Banner-2 (1)

2 thoughts on “Renungan Diri: Syukuri Kenyamanan dari Hartamu, Tapi Jangan Harapkan Kebahagiaan Darinya?

Leave a comment