Renungan Masnawi: Tiga Nasehat dari Mursyid, Seekor Burung yang Bijak

buku masnawi rumi-meditatinhg-kit

Masnawi oleh Rumi

Kadang-kadang “si sadar” pun terperangkap. Kadang-kadang dia pun “tertipu”. Burung dalam kisah ini “sudah” sadar. Toh, masih terperangkap juga. Mungkin dia sedang terbang rendah. Mungkin dia ingin menginjakkan kakinya di atas bumi. Kemudian terlena sedikit, kewaspadaannya hilang sedikit—dan dia terperangkap:

 

Tuanku, sekian banyak domba dan sapi yang telah kau sembelih dan makan. Sekian banyak onta yang telah engkau korbankan. Ternyata tidak ada yang bisa memuaskan dirimu. Engkau masih juga tidak kenyang. Lalu, apakah badanku yang kecil ini bisa mengenyangkan?

“Lepaskan aku… Sebagai pengganti, akan kuberikan tiga nasihat yang sangat bcrguna” kata si burung kepada anak manusia yang menangkapnya.

 

Si penangkap dalam kisah ini ternyata “sadar” juga. Iya ya, sudah Sekian banyak bangkai yang kumakan—eh, nggak kenyang juga! Ilmu pengetahuan, harta benda, kedudukan dun ketenaran—semuanya sudah kulalap habis. Ternyata perutku masih keroncongan juga. Ya sudah, coba mendengarkan nasihat si bijak.

Kesadaran dia layak menerima acungan jempol. Dia “berani” berguru pada seekor burung. Dia tidak mempermasalahkan latar belakang si burung. Jangan-jangan dia zionis. Jangan-jangan dia bisa merusak kepercayaanku selama ini. Jangan-jangan dia antek-antek Yahudi.

Dia tidak ragu-ragu. Dia percaya diri. Dia yakin bahwa jangankan seorang zionis, seratus juta zionis pun jika bersatu tidak akan mampu memsak kepercayaannya. Dia yakin pada Tuhan Yang Maha Melindungi.

Dengan modal keyakinan itu pula, dia memberanikan diri berguru pada seekor burung. “What can it do to me, apa yang dapat dilakukan? Bukankah Tuhan melindungi diriku?” Ia menerima tawaran burung.

 

“Nasihat pertama akan kuberikan di atas tanganmu. Yang kedua dari atap rumahmu. Dan yang terakhir dari atas pohon.” — kata burung itu.

 

Nasihat pertama dimaksudkan untuk melampaui “kesadaran jaga”. Lapisan kesadaran yang paling “kasar”. Kesadaran jasmani.

Nasihat kedua dimaksudkan untuk melampaui “alam bawah sadar”, lapisan kesadaran yang agak halus, kendati penuh dengan memori, obsesi, dan lain sebagainya.

Nasihat terakhir dimaksudkan untuk melampaui “kesadaran supra”, karena di balik lapisan itulah kita menemukan hakikat diri.

 

“Janganlah engkau mempercayai yang bukan-bukan.”

Dan setelah memberi nasihat itu si burung pun terbang, bertengger di atas atap rumah si penangkapnya.

“Janganlah engkau bersusah hati atas apa yang sudah terjadi. Jangan pula menyesali masa Ialumu.” Demikian nasihat kedua yang dia berikan dari ketinggian.

Lalu, ia menambah Iagi: “Ketahuilah bahwa di dalam perutku ini tersimpan sebutir mutiara berukuran besar.”

Maka si penangkap menyesali perbuatannya, kebodohannya. Kenapa dia melepaskan burung itu.

“Begitu cepat engkau melupakan nasihatku yang kedua, yang baru saja kuberikan, bahwa tidak perlu menyesali sesuatu yang sudah terjadi. Tidak perlu bersusah hati untuk itu.

“Terlupakan pula nasihatku yang pertama. Bahwasanya janganlah engkau mempercayai yang bukan—bukan. Coba pikirkan, mungkinkah ada mutiara di dalam tubuhku yang kecil ini? Itu pun berukuran besar?!”—tegur si burung.

 

Berhadapan dengan seorang Mursyid, kita harus siap untuk diuji setiap saat. Siap untuk menghadapi “jebakan-jebakan”-nya. Dan bukan hanya siap menghadapi, juga harus lulus. Kalau tidak, jangan harap ada pelajaran lanjutan. Si penangkap burung dalam kisah ini “sadar kembali”:

 

“Beri aku nasihat yang ketiga.”

“Nasihat ketiga? Sepertinya engkau sudah mengindahkan dua nasihat pertama, sehingga aku harus memberimu yang ketiga.” — kata burung yang bijak itu, sambil terbang jauh….

 

Seorang mursyid, seorang wali, seorang pir sangat berhati-hati dalam hal “memberi pelajaran”. Dia akan menguji kelayakan para muridnya. Dia tidak akan bercocok tanam di atas tanah yang tidak subur.

Anda pikir anda sedang mencari seorang “Mursyid”. Tidak, tidak demikian. Yang sedang mencari para “murid” adalah Sang Mursyid!

Rumi mengatakan:

 

Memberi nasihat kepada si bodoh yang masih tertidur, sama dengan menaburkan benih di atas lahan rusak yang tidak subur. Tersia-sia saja. Tidak ada gunanya. Oleh karena itu, janganlah engkau berbagi kebijakan dengan mereka!

 

Yang tertidur harus dibangunkan dulu. Yang bodoh harus di “pintar”-kan dulu. Tetapi, Rumi tidak sabar. Dulu, saya selalu mengkritik ketidaksabarannya. Sekarang tidak lagi. Kalau sudah di-kitik-kitik, disirami air, masih nggak mau bangun, what can you do?

Bahayanya, melihat mereka tertidur nyenyak kadang-kadang kita pun tergoda. “Untuk apa bangun pagi ya? Masih gelap, tidur lagi yuk.” Begitu yang sering terjadi. Mau membangunkan orang, malah tertidur sendiri.

Kembali pada nasihat-nasihat yang diberikan lewat kisah ini dan kaitannya dengan lapisan-lapisan kesadaran kita…….

Pertama, yang berkaitan dengan “kesadaran jaga”: “Janganlah engkau mempercayai yang bukan-bukan.” Be realistic, membumilah engkau! jangan berkhayal, berimajinasi. Jangan berandai-andai. Bahkan jangan ber-“jangan-jangan”, hadapilah kenyataan hidup. Ada suka, ada duka. Ada hitam, ada putih, bahkan ada abu-abu. Itulah kenyataan hidup. Demikianlah adanya.

Kedua, yang berkaitan dengan “alam bawah sadar”: “Janganlah engkau bersusah hati atas apa yang sudah terjadi. Jangan pula menyesali masa lalumu.” Berarti membebaskan diri dari memori, dari obsesi, dari keinginan-keinginan. Tidak berarti anda tidak bekerja, tidak berupaya. Tidak berarti seumur hidup anda duduk diam saja atau tidur di atas ranjang. Tidak. Berupaya, bekerja, berkarya—semua itu terjadi dalam kekinian. Curahkan seluruh energi, seluruh kesadaran pada “saat ini”. Untuk apa buang energi untuk memikirkan masa lalu?

Memori dan obsesi dari masa lalu, keinginan yang tak terpenuhi—semua membuktikan bahwa di masa lalu anda tidak berkarya sepenuh hati. Sepenuh jiwa  dan raga. Sepenuh kesadaran dan energi.

Apabila saat ini pun energi anda masih bercabang, lagi-lagi anda tidak bisa bekerja sepenuh hati. Lagi-lagi ada keinginan-keinginan yang tak terpenuhi. Lagi-lagi alam bawah sadar anda akan terbebani dengan sampah obsesi dan memori.

Ketiga, yang berkaitan dengan “kesadaran supra”. Ketiga? Bukankah burung yang bijak itu tidak jadi memberikan nasihat yang ketiga? Sesungguhnya, dia memberikannya. Ya, dia menepati janjinya: “Nasihat ketiga? Sepertinya engkau sudah mengindahkan dua nasihat pertama, sehingga aku harus memberimu yang ketiga.” Itulah nasihat dia yang ketiga!

“Mempraktekkan dua nasihat pertama”—itulah nasihat ketiga. “Kesadaran Supra” bukanlah bahan untuk didiskusikan. Kesadaran tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia itu bukanlah konsep teologi untuk diperdebatkan. Kesadaran tersebut harus dialami dan bahkan dilampaui, sehingga manusia menemukan jati dirinya. Menemukan hakikat dirinya. Menemukan “sesnatu” yang tidak berlapis…….

Dikutip dari buku (Krishna, Anand. (2001). Masnawi Buku Keempat, Bersama Jalaluddin Rumi Mabuk Kasih Allah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

 

buku masnawi 4

Cover Buku Masnawi Empat

Link: http://www.booksindonesia.com

Link: http://www.oneearthcollege.com/

oec4elearning-banner

Leave a comment